Ia juga sempat meraih penghargaan, yaitu American Field Service International
Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika
Serikat dan Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970;
dan – SEA Write Award (1997).
2.Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 adalah penyair terkemuka Indonesia. Sering dijuluki sebagai
“Si Binatang Jalang” karena salah satu puisinya yang berjudul “Aku” atau “Semangat”.
Oleh H.B. Jassin, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor dari
Angkatan 45 dan puisi modern Indonesia. Namanya mulai terkenal dalam
dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di
Majalah Nisan pada
tahu 1942, saat itu usianya baru 20 tahun. Selama hidupnya, dia telah
menulis sekitar 94 karya, ini termasuk 70 puisi. Semua tulisannya
tersebut diterbitkan dalam bentuk kompilasi oleh
Pustaka Rakyat dengan judul
Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan
Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya Chairil Anwar sempat ditolak oleh majalah
Pandji Pustaka
karena dianggap terlalu individualitas dan moderat dari aturan-aturan
puisi saat itu. Karya-karyanya tersebar dalam tulisan-tulisan di atas
kertas murahan saat pendudukan Jepang. Namun nyatanya, siapa yang tidak
mengenal Chairil Anwar sekarang? Bahkan di luar negri, puisinya berjudul
aku ditulis pada sebuah tembok dan menjadi monument.
3 Asrul Sani
Asrul Sani, lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926, adalah
seorang sastrawan dan sutradara film yang ternama di Indonesia. Dia
dikenal sebagai salah satu pelopor Angkatan 45, bersama-sama dengan
Chairil Anwar. Antologi
Tiga Menguak Takdir yang ditulisnya
bersama-sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin membuat karir
kepenyairannya menanjak. Selain itu, mereka juga memproklamirkan
manifestasi sikap kebudayaan mereka dengan Surat Kepercayaan Gelanggang,
diaman hal ini membuat mereka memiliki nama dikalangan sastrawan.
4 Sitor Situmorang
Sitor Situmorang dilahirkan dengan nama Raja Usu dengan marga
Situmoran dari Suku Batak Toba. Dia lahir di Harianboho, Tapanuli Utara,
Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Sitor Situmorang dikenal sebagai
wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia.
Karir kepenyairannya dikatakan oleh A. Teeuw bersinar setelah
meninggalnya Chairil Anwar. Dia memulai kariernya sebagai wartawan
harian Suara Nasional dan harian Waspada. Dia juga pernah menjadi
pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater
Nasional Indonesia, anggota Dewan Nasional, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman, anggota
Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan, dan Ketua Lembaga Kebudayaan
nasional. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor pernah dipenjara
sebagai tahanan politik di Jakarta mulai tahun 1967-1974.
Karya-karyanya antara lain
Surat Kertas Hijau (kumpulan puisi (1954),
Jalan Mutiara (drama (1954),
Dalam Sajak (kumpulan puisi (1955),
Wajah Tak Bernama (kumpulan puisi (1956),
Rapar Anak Jalang (1955),
Zaman Baru (kumpulan puisi (1962),
Pangeran (kumpulan cerpen (1963),
Sastra Revolusioner (kumpulan esai (1965),
Dinding Waktu (kumpulan puisi (1976),
Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (otobiografi (1981),
Danau Toba (kumpulan cerpen (1981),
Angin Danau (kumpulan puisi (1982),
Bunga di Atas Batu (kumpulan puisi (1989),
Toba na Sae (1993),
Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (sejarah lokal (1993),
Rindu Kelana (kumpulan puisi (1994), dan
Peta Perjalanan (kumpulan puisi) yang mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976
5.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni
1941, adalah seorang penyair terkemuka Indonesia. Pada awal karir
kepenulisannya karya-karya Sutardji dimuat dalam surat kabar di Bandung,
kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya
serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Melalui sajak-sajaknya Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai
pembaharu perpuisian di Indonesia setelah periode Angkatan 45. Terutama
karena kredo kepenyairan yang diungkapkannya bahwa hendak membebaskan
kata-kata dari kungkungan makna, dan kata hendak dikembalikannya pada
fungsi kata yang sebenarnya (yaitu sebagai penanda) seperti dalam
mantra. Selain itu, dia juga memperkenalkan cara membaca puisi yang baru
dan unik di dunia kesusastraan Indonesia.
Kumpulan sajaknya yang berjudul O Amuk Kapak adalah penerbitan
lengkap dari sajak-sajak Sutardji dari periode penulisan 1966 sampai
1979, antologi ini merupakan gabungan dari tiga antologi sebelumnya yang
berjudul sama yaitu O, Amuk, dan Kapak. Kupulan sajak O Amuk Kapak ini
mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukan Sutardji pada
perpuisian di Indonesia. Walaupun sayangnya, dia sudah berubah aliran di
masa tuanya sekarang ini dalam hal menulis puisi.
6.Abdul Hadi Wiji Muthari
Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari atau yang lebih dikenal dengan
nama Abdul Hadi WM, lahir di Sumenep, 24 Juni 1946 adalah seorang
sastrawan budayawan, dan ahli filsafat Indonesia. Dia dikenal karena
karya-karyanya yang bercorak sufistik dan penelitan-penetiannya dalam
bidan kesusastraan Malyu di Nusantara, serta pandangan-pandangannya
tentang Islma dan Pluralisme.
Para pengamat kesenian menyebutnya sebagai pencipta puisi Sufis di
era 70-an. Karena karya-karyanya banyak berisi tentang kesepian,
kematian, dan waktu. Karena itu, dia sering dibandingkan dengan
sahabatnya, yaitu Taufik Ismail, yang juga kerap menulis puisi religi.
Karya-karnya antara lain
At Last We Meet Again, Arjuna in
Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut
belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luar
Prabhang dan Pembawa Matahari, dan lain-lain.
7 W.S. Rendra
Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan
nama W.S. Rendra lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935, adalah
sastrawan besar Indonesia.
Sejak muda, dia telah memulai karir sastrawannya dengan menulis
banyak puisi, naskah drama, cerpen, dan esai sastra di banyka media
massa. Puisinya pertama kali dipublikasikan pada tahun 1952 di majalah
Siasat. Dari situ, puisi-puisinya terus dipublikasikan di berbagai majalah pada masa itu seperti malajalah
Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan
Siasat Baru. Dan terus berlanjut pada decade 60-an sampai 70-an.
Dalam bukunya yang berjudul
Sastra Indonesia Modern II (1989),
A. Teeuw mengatakan bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern,
Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti
Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya
terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karyanya antara lain
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan
sajak, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua,
Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten
van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin,
Orang Orang Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of
Emergency, dan
Do’a Untuk Anak-Cucu.
sumber:http://www.si-pedia.com/2015/02/biografi-11-penulis-puisi-terkenal-indonesia.html